Ada dua tengkorak kepala yang sampai saat ini masih
membuat aku harus menghela napas dalam-dalam. Dua tengkorak kepala manusia yang
paling memberikan arti bagi hidupku. Aku harus berurusan dengan dua tengkorak
kepala itu. Ini bermula dan telepon interlokal Umi - ibuku: aku harus segera
berangkat ke Lhok Soumawe, Aceh.
Umi telah dua kali menginterlokalku. Kata beliau, aku
telah diangkat menjadi Ketua Panitia pemindahan kuburan kakekku. Aku sudah paham
benar, Umi jangan sampai menginterlokal yang ketiga kali. Aku tentu tak mau
menjadi anak durhaka.
Kali ini aku memilih pulang kampung lewat jalan darat.
Dalam perjalanan dan Lampung hingga ke Aceh Selatan, banyak sekali jalan raya
yang buruk. Lagi pula, kota-kota yang kulewati tak memberikan suasana batin
bagiku.
Tapi, menjelang tiba di kota kecil Sidikalang, secara tak
sengaja aku buka kaca mobil. Hidungku langsung menyerap aroma wanginya
nilam.Kota ini mengingatkan sejemput keharuan tentang diri si Ali, sahabat
karibku. Kecepatan mobil kuperlahankan. Mataku menikmati pemandangan
pohon-pohon nilam yng merimbuni pelosok kota kecil ini. Tinggi tanaman ini cuma
setinggi pepohonan bayam. Sekiranya Ali mengikuti pikiran logis Mak
Toha-ibunya-ia sekarang ini sudah jadi saudagar kaya karena berdagang minyak
nilam itu. Sebelum meninggalkan kota kecil ini, aku dah. Pikirku, Ali kini
sudah terkubur menjadi tulang-tulang tengkorak karena pembantaian itu.
Seketika itu juga akan menyadari kewajiban mampir ke rumah
Mak Toha. Benar-benar wajib! Dia adalah wanita baik hati yang kukenal sejak
remaja di Lhok Seumawe. Keluarganya sudah kuanggap famili. Salah seorang
anaknya Ali adalah teman sekelasku sejak di SMP. Ali tidak suka, dan tak pernah
suka memakai gelar kebangsawanannya. Kami sepaham. Ini yang membuat aku dan Ali
jadi akrab.
Dan senja itu aku mampir kerumah Mak Toha. Beliau sangat
terkejut. Aku berdiri di depan pintu mengucap Assalamu’alaikum. Separuh
menjerit beliau menyebut namaku.
"Kamu membuat Mak merasa Ali hidup kembali,"
katanya.
"Jadi benarlah cerita Ali telah wafat," kataku.
"Ya kata Mak Toha. "Tapi kami lillahi ta’ala.
Kami sudah punya pundi-pundi surga jihad. Al-hamdulillah.
Aku dipersilakannya duduk menunggu dia membawa teh.
"Dimana kamu dengar Ali telah mendahului kita ?"
"Dari Ja’far," kataku tenang. Namun dalam
jiwaku muncul pergolakan batin: mengapa si Ali, temanku penari Seudati yang
piawai, pemain drama dan pendeklamasi yang handal sampai gugur dengan sangat
mengenaskan?
Tiba-tiba kuingat, sepucuk surat Ali yang dia kirim dari
Tripoli, ibukota Lybia. Ketika kubaca suratnya, aku punya kesan fanatisme Ali
pada diktator itu. Di akhir suratnya dia menulis: "dari putra
Khadafi". Lalu tanda-tangannya. Namun kesan itu berubah lagi. Sebab,
sepulang dia dan Lybia itu, Ali menulis surat kepadaku lagi. KaIi ini tidak ada
fanatisme "putra Khadafi". Bahkan surat itu datang dari Medan:
"Sekarang aku mengajar privat Bahasa Inggris di Medan. Walaupun Mak kami
kaya, aku musti belajar mandiri. Mak mengajak aku berkebun nilam bila kita
rajin bertanam nilam, harga minyak nilam bisa membuat kita kaya. Tapi menjadi
kaya bukan tujuanku," tulis Ali dalam surat itu. Kalimat terakhir inilah
yang terpenting.
Sejak itu aku tidak pernah menerima surat lagi dari Ali.
Dan ternyata, tidak akan pernah lagi, selama-lamanya. Dia telah dibantai
bersama teman-temannya tanpa diadili. Dia sudah menjadi Tengkorak bersama
tengkorak-tengkorak lain yang dikubur secara masal.
Dan kini, diruang tamu Mak Toha si Ali tinggal kenangan.
Bahasa Inggrisnya yang bagus, sampai-sampai dia menguasai serta Inggris tingkat
Bahasa William Shakespeare. Kalau aku ingat semasa SMA dengan segala
kelebihannya, Ali tak pantas dituduh memegang senjata, dan dibunuh. Harusnya
mereka tak membunuh Ali melainkan mengagumi membaca puisi.
Ali hafal hampir semua karya Shakespeare. Suatu sore
dia kerumah ku, hanya untuk memberi berita ini:" Hai, ternyata Shakespeare
punya puisi-puisi khusus dia bukan hanya sutradara dan pengarang drama, dan
juga bukan hanya seorang yang suka melucu. Dia ternyata seorang penyair yang
bagus. Pamanku baru saja mengirim buku ini dari Singapura. Kamu bacalah salah
satu puisinya:
So
shalf thou feed on Death,
That
feeds on men,
And
death once dead,
There’s
no more dying then
Yang
mengejutkanku, dia terjemahkan karya besar itu dalam bahasa Aceh yang sempurna.
Di Aceh Puisi memang sudah menjadi biasa, dan jadi bahasa sehari-hari, karena
negeri ini kaya dengan para penyair lisan. Puisi Shakespear yang dibaca lisan
oleh Ali dalam Bahasa Aceh – apalagi tentang maut-menanamkan ketenangan batin
khusus bagi banyak orang sudawh menjadi karakter orang Aceh, kalau maut sudah
sekali menjemput, tidak ada lagi kematian berikutnya. Mati hanya datang satu
kali.
Pernah
aku sangat sibuk mencari naskah drama "Tanda Silang," karya penulis
asing yang sudah disadur oleh W.S. Rendra. Kami pernah membaca resensi
pementasannya.
"Kita
perlu menanamkan keberanian pada orang Indonesia. Ada yang bilang pada saya, satu kalimat
terhebat dalam drama ‘Tanda Silang’ itu. Mengenai kematian dan pahlawan. Tapi
saya sangsi kalimat itu orisinil. Tolong kamu carilah naskah itu. Liburan kwartal kamu cari ke Medan. Kita pentaskan untuk perpisahan
sekolah," desak Ali.
Aku tentu dengan mudah menemukan naskah itu di Medan.
Medan kota paling gila drama. Herannya tertera di naskah itu, penerjemahnya
adalah Sitor Situmorang, bukan W.S. Rendra. Tidak penting bagiku meneliti soal
siapa penerjemahnya. Kami akan mementaskan drama ini di Lhok Seumawe. Sudah
banyak sekolah SMA di Medan mementaskan drama ini. Tapi begitu naskah stensilan
itu dibaca Ali, dia berteriak marah:"Wah, ini ada kalimat jiplakan dari
drama Julius Caesar karya Shakespeare."
"Jiplakan?" tanyaku
"Ya! Kalimat ini ada dalam drama Julius
Caesar."
Ali mengeluarkan buku dari lacinya. Dia menunjukkan dua
kalimat itu sebagaimana tertera di buku aslinya:
Cowards
die many times before their deaths, The Valiant never taste of death but once.
Hampir saja Ali membatalkan rencana pementasan itu. Untung
ada Ustadz Tengku Muhamad Diah- guru agama kami - menyarankan agar si Ali tidak
emosional.
"Bukankah kalimat itu agung, Ali?" ucap Ustadz.
"Ya. Terlepas dari orisinalnya, memang agung Pak
Ustadz: Para pengecut mati berkali-kali sebelum ajalnya tiba. Pahlawan tidak
merasakan ajal kecuali satu kali."
Setelah dua puluh lima kali latihan selama tiga bulan,
ketika dipentaskan benar-benar sukses. Terutama karena hebatnya permainan Ali.
Tapi di balik tepuk tangan riuh itu, Ali tak gembira. Gadis yang dicintainya,
Cut Nur’aini, akan menikah dengan Tengku Faisal seorang saudagar Aceh yang
bermukim di Malaysia.
Mak Toha sempat tahu persis kejadian yang menimpa Ali
itu. Beliau bercerita: "Waktu Mak mengajak Ali pindah ke Sidikalang ini,
dia memutuskan melanjutkan sekolah di Singapura."
Lalu beliau menawarkan suguhan ubi rebusnya:"Ini ubi
rebus sebesar paha kamu. Nah, kembali kepada cerita si Ali tadi," lanjut
Mak Toha, "Dia katakan pada Mak, bahwa dia ada menulis surat pada kamu.
Kata almarhum kepada Mak lagi, kamu melanjutkan sekolah di Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada Yogya. Katanya kamu kepingin mengisi ilmu untuk bersiap
diri jadi saudagar."
Aku hanya bisa tersenyum.
Aku menambahi cerita Mak Toha: "Saya ada sekali
menerima suratnya, Mak, justru cap pos dari Sidikalang ini."
"Itu benar. Katanya dia tak betah di Singapura.
Katanya lagi, malas awak di Singapura ‘ndak nambah ilmu. Itulah dia, teman
kamu: akhirnya mau merantau ke Mesir. Mumpung uang ada, Mak dorong dia
merantau. Niat baik jangan ditunda’kan? Tapi dasar si Ali. Hatinya
diperturutkannya berbelok merantau ke Lybia itu. Tapi demi Allah, dia ke Lybia
tidak di sekolah militer. ABRI bikin isyu, ketika akan menangkap Ali,
dikatannya si Ali latihan militer di Lybia. Itu fitnah. Disana dia malahan jadi
pembantu guru Bahasa Inggris. Muamar Khadafy itu orangnya angkuh, pandai sekali
berbahasa Perancis dan Inggris. Dia suka merendahkan orang bodoh. Si Ali dulu
pernah bercerita, Khadafy sekolah militernya di Inggris, dibiayai oleh Sultan
Idris. Bahkan ketika dia merebut kekuasaan, usianya masih Dua puluh sembilan
tahun."
Mak mulai menyeka airmatanya. Aku sudah mulai gelisah
ingin segera meneruskan perjalanan ke Lhok Seumawe. Kulihat tambah banyak
cerita Mak, tambah berlinang airmatanya. Sementara otakku membayangkan, temanku
itu sudah jadi tengkorak sekarang. Maka segera kujelaskan pada Mak Toha, bahwa
aku perlu cepat ke Lhok Seumawe karena harus menjadi Ketua Panitia pemindahan
kuburan kakekku.
Namun wanita tua itu merengek-rengek: "Menginaplah
di sini semalam, Nak. Supaya lepas rindu Mak pada almarhum putraku."
Aku wajib pula mengabulkan bujukan itu. Mujur pula, sore itu juga, Ibrahim adik lelaki Ali, muncul. Dia keren. Bahkan lebih keren dari Ali. Dia memakai
jas. Aku memulai dengan gurau:
"Pakai jas siang-siang apa tidak panas,
Brahim?"
"Jika pakai jas, awak tak dituduh orang ekstrem.
Tapi jas ini penting, karena awak sekarang ‘kan pedagang
minyak nilam."
"Oh, hebat kau," ucapku gembira. Hadirnya
Ibrahim, yang ternyata tukang ngobrol, membuat aku tak usah mendengar cerita
sedih Mak Toha lagi.
Kemudian, Ibrahim memberitahuku: "Kami akan ke Dayah
Baureuh. Di sana kami akan membongkar kuburan orang-orang yang dituduh ikut
GAM.1 Kami akan mencari identitas mayat korban. Lalu kami akan menguburkannya.
Dulu di sana mereka ditembak ABRI secara massal dan dikuburkan juga secara
massal."
Aku terhenyak kaget. Kematian Ali yang kudengar dari
Yakub tidaklah sekeji seperti yang diceritakan Ibrahim. Ibrahim lalu
menceritakan kapan ancang-ancang kuburan massal itu akan dibongkar.
"Kalau sudah pasti tanggalnya, saya akan ikut
kalian. Teleponlah aku ke Lhok Seumawe. Kamu punya nomor telepon kami
‘kan?" kataku.
"Mari awak catat," ujar Ibrahim gembira. Semula
dia kira aku tak menganggap penting peristiwa pembongkaran kuburan itu. Karena
hal ini jauh lebih penting dari rencana pemindahan kuburan Kakekku, aku punya
alasan minta izin pada Mak Toha dan Ibrahim untuk malam itu juga pulang ke Lhok
Seumawe. Malam itu juga Mak Toha ikhlas melepasku. Beliau sangat bahagia karena
aku akan melibatkan diri pada pembongkaran kuburan si Ali ini.
Dini hari itu juga, Umi kaget melihat aku muncul di depan
rumah, lebih cepat dari dugaannya.
"Saya sengaja datang lebih awal. Kita perlu
mengadakan rapat keluarga untuk menunda pemindahan kuburan Inyik," kataku
pada ibuku. Inyik adalah cara paling manis yang diajarkan Umi untuk menyebutkan
kakekku. Padahal aku belum pernah bertemu dengan beliau, sebab beliau telah
wafat di tahun zaman penjajahan Jepang, 1942. Cerita Umi mengenai kematian
Inyik, selalu menyentuh batinku, membuat almarhum kakekku itu menjadi legenda
bagiku. Padahal kelak, aku cuma bertemu tengkorak kepalanya saja. Dan tengkorak
kepala itu pula yang sering membuatku menghela napas dalam-dalam sebagaimana jika
aku membayangkan tengkorak kepala temanku Ali.
Sebelum aku umumkan pembongkaran kuburan kakek harus
ditunda, aku sudah tahu persis sifat Umi. Ibuku ini orangnya keras. Namun aku
yakin, betapa pun kerasnya Umi, jika dia disuruh memilih mana yang lebih penting,
mengikuti upacara pembongkaran kuburan korban DOM2, atau membongkar kuburan
kakek, pastilah Umi akan memilih lebih penting mendahulukan korban DOM. Aku
tahu persis itu.
Lalu aku bercerita mengenai sambutan Mak Toha.
Kuceritakan betapa Mak Toha memaksa aku menginap. Betapa bersemangatnya beliau
jika menceritakan si Ali. Tampak Umi menghapus airmatanya dengan pinggiran
kerudung. Tiba-tiba, Umi membuat aku kaget sewaktu beliau berkata:
"Seharusnya kamu yang mati syahid itu. Jadi kami punya pundi-pundi untuk
menyejukkan kami di Padang Mahsyar."
Umi memuji kelemah-lembutan Ali. Bahkan beliau sempat
mengingat, suatu kali pernah diundang Ali untuk hadir pada pembacaan syair
dalam bahasa Aceh, di Langsa. Beliau hadir.
"Kapan itu, Umi?" tanyaku.
"Ketika dia mengajar privat di Medan, sepulangnya
dari Tripoli. Bahasa Acehnya terpuji, bahasa Arabnya fasih, bahasa Inggrisnya
cantik, bahasa Indonesianya terpuji. Bayangkan, dia membaca syair itu dalam
empat bahasa. Orang konsulat asing saja terheran-heran. Sayang kamu tak turut
menyaksikannya. Tahu kamu, awak pun menangis terharu."
Aku tak memberi komentar, karena perempuan-perempuan kami
di Aceh, jika sudah bicara soal mati syahid, tangisnya dilumuri ruh jihad. Aku cuma berkata dalam hati: "Bagi Ali, mati seakan-akan sudah
merupakan kerinduan dan janji."
Di rumahku di Lhok Seumawe, keesokan harinya tamu-tamu
banyak datang. Tamu dari Jakarta dirasakan begitu istimewa. Mereka menanyakan
kepadaku, bagaimana sikap orang Jakarta mengenai DOM. Apa benar DOM akan
dihapus. Apa benar pula Kodam Iskandar Muda akan dihidupkan kembali.
Dalam hal ini, aku harus tidak bersikap netral. Bagi
mereka, jika aku netral, aku akan dianggap munafik. Munafik lebih dibenci
dibanding kafir.
Lalu, menjelang lohor, kami sudah sependapat untuk ikut
menggali kuburan korban DOM di dekat desa Dayah Baureuh. Kami sepakat untuk
menyenangkan Mak Toha. Dan tiga hari setelah rapat keluarga itu, sangat gembira
aku menerima telepon dari Sidikalang. Kata Ibrahim:
"Kami akan tiba di desa Dayah Baureuh tanggal 14
hari Rabu. Datanglah hari Rabu itu. Jumpai kami di sana. Di sana ada Meunasah.3
Kalian kami tunggu di situ. Kami akan bawa banyak sekali nasi bungkus dan
kue-kue."
Aku sangat menguasai peta Aceh Timur. Karena itu, setiba
di Meunasah, aku langsung memeluk satu demi satu rombongan dari Sidikalang,
termasuk juga penduduk desa Dayah Baureuh yang siap membantu membongkar
pekuburan massal yang tak jauh dari desa itu sendiri.
Kami menggali mayat-mayat itu secara hati-hati. Ada
pakaian korban yang masih utuh. Dari KTP yang di laminating dari tiga
tengkorak, ada pula beberapa orang bahkan teman sekelasku di SMP dan SMA.
Banyak tengkorak yang sulit dikenali, karena tanpa KTP. Kami masih terus
membolakbalik beberapa tengkorak, tinggal tiga tengkorak yang masih keliru
identitasnya. Ada pula yang keliru karena ditemukan cincin tembaga yang
mengikat batu akik darah.
"ini pasti si Amir," kata ibu Amir.
Seorang ibu mengaku pula: "ini jari tulang
anakku. Ini cincin batu pirus Persia si Buyung."
Mak Toha yang masih merahasiakan kecemasannya.
"Kabarnya Ali melawan waktu itu," ujar Udin,
seorang saksi mata, yang seusiaku.
"Lalu? Setelah dia melawan?" tanyaku.
"Dia ditembak langsung oleh Kapiten," kata
Udin.
Inilah yang memberi inspirasi padaku bertanya seorang
tentara yang mengawasi penggalian itu: "Jika komandan, dia menggunakan
senjata genggam atau Senjata laras panjang, Mas?"
"Biasanya pistol," jawabnya.
Langsung kuambil satu tengkorak kepala. Kening batok kepala itu berlubang.
"Kalau cerita Udin tadi betul, ini pasti tengkorak
si Ali," kataku.
Kening tengkorak kepala itu berlubang. Lalu aku bersihkan
tanah yang mengisi bagian dalamnya. Dan kutemukan pula sebutir peluru. Kuambil
peluru itu, aku tunjukkan kepada tentara tadi dan bertanya: "ini peluru
senjata genggam?"
"Betul. Ini peluru pistol Vickers."
"Mak Toha sudah puas?" tanyaku.
"Alhamdulillah. Tapi itu! Itu giginya coba
bersihkan, Nak! Itu gigi platina si Ali," kata wanita tua itu gembira.
Kucabut gigi palsu platina itu, lalu kuberikan pada Mak Toha. Beliau mencium
gigi palsu putranya, lalu memasukkannya ke dalam dompet. Sedangkan peluru
Vickers tadi kumasukkan ke kantong bajuku. Penemuan gigi palsu ini memberi
indikasi bagi seorang pemuda yang berseru:
"Jika ini tengkorak kepala Ali, tentu ini kepala
Rozak Harimau," ujar Tengku Jalal. "Gigi Rozak gingsulnya yang mirip
taring harimau."
Mata Mak Toha berpijar-pijar ketika aku bersama semua
karib kerabat mulai mencuci setiap tengkorak sebagaimana upacara pemandian
jenazah. Setelah bersih dan dikafankan, semua tengkorak korban DOM itu dijajar,
lalu kami melaksanakan shalat jenazah. Kemudian satu demi satu dimasukkan ke
liang kubur.
Kadangkala aku bertanya, peluru Vickers yang kukantongi
inikah yang membuat aku Sering teringat Ali dan selalu menghela napas
dalam-dalam?
Berbeda pula suasana yang aku rasakan seminggu kemudian,
sewaktu aku membongkar kuburan kakekku. Tapi cerita yang sama terjadi.
Tengkorak kepala kakekku juga berlubang tepat di tengah keningnya sebagaimana
lubang di kening tengkorak kepala Ali. Lubang itu cukup besar. Dan dalam batok
kepala Inyik tidak kutemukan butir peluru. Yang ada justru di belakang batok
kepala Inyik ada lubang yang lebih besar lagi. Agaknya, peluru itu menembus
bagian batok kepala kakekku. Kalau begitu, batok belakang kepala Ali lebih kuat
sehingga peluru tentara itu tak bisa menembusnya. Padahal yang menembak kepala kakekku juga tentara. Tapi tentara fasis
Jepang. Di zaman penjajahan Jepang, fasisme militer Jepang sangat kejam.
Pada malam tahlilan selesai penguburan Inyik, muncul usul
dalam rapat keluarga di Lhok Seumawe. Mereka menugaskan aku untuk meminta
kepada Pemerintah R.I., supaya kakekku diberi penghargaan sebagai Pahlawan
Nasional.
"Tak ada perlunya," kataku.
"Tapi kakekmu korban kekejaman tentara
penjajah," kata pamanku.
"Lalu teman saya Ali, bagaimana? Dia malah bukan
korban kekejaman tentara penjajah, melainkan korban kekejaman tentara bangsa
sendiri," ujarku.
Semua yang hadir di malam tahlilan itu terdiam.
Diam itu lebih baik, agar mereka bisa merenung.
Jakarta, 1999
Catatan:
1. GAM = Gerakan Aceh Merdeka.
2. DOM = Daerah Operasi Militer.